Idol

Seorang direktur bank datang memberikan sebuah pertanyaan menohok, "Kenapa, ya, di Indonesia banyak trainer yang menjadi motivator? Apa masyarakat kita memang sudah sedemikian loyo, kurang semangat, sehingga perlu dimotivasi terus-menerus?" Rupanya beliau agak keberatan dengan sikap salah satu manajernya yang ketagihan memanggil trainer khusus motivator untuk memacu semangat para staf penjualan di bank itu. Menurut dia, tugas motivator itu mestinya dilakukan sang manajer sendiri.

Mendengar cerita itu, terus terang hati saya mencelat juga. Soalnya, protes beliau bisa berbahaya bagi lahan rezeki saya. Maklum, saya sendiri sering dipanggil perusahaan untuk memberikan sesi motivasi di berbagai pertemuan tahunan, raker, dan sebagainya.

Malah, minggu lalu, saya diundang ke Surabaya untuk memberikan motivasi di hadapan lebih dari 3.000 mahasiswa tentang berjiwa dan bersemangat entrepreneur. Sungguh spektakuler. Sepertinya para peserta sangat haus dengan minuman yang disebut motivasi.

Menurut seorang teman, profesi trainer motivator kurang dikenal di negara-negara seperti Jepang, Cina, dan Korea. Kalau memang benar begitu, harap maklum saja, karena memang di tiga negara itu, semangat dan motivasi berjuang sebagai entrepreneur memang sudah sangat tinggi. Jadi, mungkin saja profesi motivator tidak akan laku di sana.

Namun pertanyaan yang tetap menghantui saya adalah: apakah kita terbukti memang kurang percaya diri dan miskin semangat? Saya teringat satu pengalaman unik belum lama ini. Seperti kita ketahui, saat ini sedang musim "idol". Pertarungan menjadi "American Idol" dan "Indonesian Idol" telah dimulai dengan tahap seleksi.
Beberapa kali saya menonton proses seleksi awal "American Idol" di televisi. Cukup menarik, memang, karena "American Idol" boleh dibilang menjadi fenomena unik. Malah, di acara beken Larry King, muncul beberapa kali interviu dengan alumnus "American Idol". Beberapa peserta yang berhasil masuk final, dan menang, menceritakan bagaimana "American Idol" menjadi sebuah gerbang unik yang berhasil mengubah hidup mereka.

Situasi ini ternyata jauh berbeda dengan di Indonesia. Peserta dan peminat "Indonesian Idol" ternyata tidak sebanyak di Amerika. Padahal, jumlah penduduk Indonesia dan Amerika sebenarnya rada-rada mirip dan mendekati. Malah, menurut gosip, peserta "Indonesian Idol" dari tahun ke tahun makin surut.
Satu hal yang sangat menarik, lebih dari separuh perserta tampil apa adanya. Mereka sangat kurang percaya diri. Saat diminta bernyanyi, banyak yang matanya menjauhi pandangan mata para juri secara langsung. Mereka menghindari eye contact. Kebanyakan pandangan mata mereka ke langit-langit. Malah ada satu perserta yang gagap dan mengatakan takut.

Para peserta kita juga jauh lebih sopan. Kalau ditolak, masih bisa mengucapkan terima kasih dan tersenyum. Jarang sekali yang berani protes atau ngotot berdebat dengan para juri. Beda dengan peserta "American Idol". Betapa sering kita melihat para peserta begitu emosional apabila ditolak. Tak jarang mereka juga berdebat dan mempertanyakan keputusan juri. Banyak peserta yang gagal itu penasaran dan kelihatan betul semangatnya yang menggebu-gebu. Sementara peserta "Indonesian Idol" kebanyakan pasrah saja kalau ditolak.

Jangan-jangan, ini memang fenomena yang mengaramkan kita selama ini. Jangan-jangan, prestasi olahraga kita susah maju juga disebabkan semangat juang yang tipis. Bahwa kita lebih mudah dan gampang menyerah.

Cerita dan sukses para alumnus "American Idol" memang banyak yang sangat spektakuler. Ada yang berhasil mendadak menjadi artis besar dan memenangkan Grammy sekaligus. Ada yang melompat main film dan juga pentas Broadway. "American Idol", bagi mereka, berhasil menjadi "pengungkit" yang melontarkan karier. Istilahnya, banyak alumnus "American Idol" yang berhasil membuat sebuah lompatan besar.

Beda dengan alumnus "Indonesian Idol" yang sukses dan kemudian pelan-pelan memudar. Tanpa sempat punya karier yang spektakuler. Demikian juga cerita atlet-atlet kita yang berprestasi, jarang di antara mereka yang bisa menciptakan lompatan besar ketika mereka beken dan populer. Ketika mereka memasuki usia senja, malah banyak yang memiliki kehidupan sangat sulit.

Barangkali hidup ini alurnya harus kita simak dengan strategis. Kalau saja kita mengalami prestasi kecil dan sukses kecil, mestinya bisa kita jadikan momentum yang melontarkan kita ke posisi yang lebih baik. Istilah kata, hidup ini harus bergaya dongkrak. Setiap ada kesempatan, kita dongkrak sedikit demi sedikit. Terus-menerus hingga ke atas.

Kata Mpu Peniti, janganlah hidup bergaya mercon atau kembang api. Satu bunyi keras, kemudian padam dan sunyi. Atau kembang api yang membawa kita tinggi hanya untuk sekian detik, dan seterusnya gelap.
Itu sebabnya, setiap kali memberikan pelatihan yang lebih bersifat motivasi, saya selipkan beberapa strategi bisnis yang mudah dan lugas, agar menjadi elemen inspirasi yang melengkapi motivasi. Saya tidak ingin motivasi itu jadi semangat yang mirip kembang api. Cuma tahan sesaat, setelah itu gelap gulita.

Original post by
Kafi Kurnia
peka@indo.net.id
[Intrik, Gatra edisi 16 Kamis, 1 Maret 2007]